Mengembara

27 1 3
                                    

bepergian ke mana-mana tanpa tujuandan tempat tinggal tertentu.


Hari Sabtu tiba membawa liburnya sekolah. Hari ini, Bahadur sudah berencana untuk membeli beberapa peralatan untuk bepergian ke alam bebas. Awalnya Ibu khawatir tentang dirinya yang mengikuti ekstrakurikuler pecinta alam. Namun, dia tetap mencari akal untuk membuat Ibunya setuju. Bukan karena keinginannya, tapi dia takut akan terjadi hal yang buruk jika tidak mengikuti ekstrakurikuler itu. "Kakak kelas sialan!" keluhnya.

Sebelum pergi bersama ayah, Bahadur terlebih dahulu mencari kamera pemberian kakeknya di gudang. Setelah membuka tangga tambahan di lantai atas, dia menaiki tangganya dan mengipas-ngipaskan tangannya untuk menjauhkan debu dari wajahnya. "Kotor sekali tempat ini," keluhnya, lalu mencari kamera pemberian kakeknya yang lupa ia simpan di sebelah mana gudang itu. Sudut-sudut ia telusuri, tumpukan kardus ia berantaki, isi lemari ia cari, membuka tumpukan gambar Sasuke lalu berkata, "chidori". Tubuhnya yang sudah bersih karena mandi pun kotor kembali, sudah cukup lama dia memutari tempat itu, tapi hasilnya tetap nihil. Anak kotor itu pun menyerah, lalu turun kembali melewati tangga dan menutupnya kembali. Dia pun meminta ayahnya menunggu kembali dirinya untuk mandi, agar terhindar dari bakteri. Bahadur seketika menyadari, ternyata dirinya terlalu banyak mengamburi air untuk satu hari. Namun, ia berpikir kembali, daripada ia terkena difteri dari barang yang terkontaminasi, lebih baik ia pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih kembali.

Bahadur pun sudah bersih dan rapi kembali. Ketika ia sedang memakai sisirnya untuk merapikan rambut, ia melihat ke arah kotak besar di bawah kasurnya. Dia pun mendatangi kotak tersebut dan menariknya agar dapat terbuka tutupnya. Kotak tersebut merupakan tempat di mana barang-barang yang dahulu ia anggap tidak berguna disimpan. Dia punya firasat bahwa ada sesuatu yang ia cari di dalam kotak tersebut. Benar saja, kamera lama kakeknya ternyata berada di dalam kotak tersebut. Bahadur pun bingung harus merasa bersyukur atau merasa disulitkan.


****


Jalanan kota hari ini cukup lancar dibandingkan hari-hari sebelumnya. Di mobil, Bahadur duduk di belakang sembari rebahan di atas jok mobil. Terdengar suara klakson mobil menemani tawaan Indah yang duduk di jok depan sebelah Ayah. Anak dengan kamera di lengannya itu pun bangun dari rebahannya yang menyakitkan mata. Ia amati kamera tersebut yang berwarna hitam dengan perpaduan silver yang klasik.


"Itu apaan sih kak?" tanya Indah yang penasaran sembari melihat ke belakang.

"Ini kamera yang waktu itu kakek kasih ke kakak, tapi kakek gak pernah kasih tau cara pakainya. Kakak jadi bingung," Bahadur menjelaskan sembari memutar-mutar kamera tersebut.

"Itu kamera analog kak, kamera itu butuh gulungan film untuk mengambil gambar. Pengalaman kamera itu lebih banyak daripada kamu, jadi kamu harus hormati kamera itu, apalagi itu pemberian kakekmu. Lagian buat apa kamu bawa-bawa kamera itu? Kan kita mau belanja alat mendaki," ayah menjelaskan sembari fokus menatap ke depan jalan agar tidak kehilangan arah.

"Oh iya, aku lupa bilang kalo aku juga ikut ekstrakurikuler fotografi di sekolah. Tadinya aku ingin memotrey jalanan yang dilewati, tapi aku ga ngerti cara pakainya dan ternyata harus pake dulu gulungan film, duh."

"Ooohh begitu, yasudah nanti kita sekalian mampir ke toko kamera klasik aja. Ayah tau banyak toko-tokonya ada dimana."

"Oke yah!"


Akhirnya Bahadur puas membeli segala macam kebutuhan ekstrakurikulernya. Setelah kembali ke rumah, dia tidak sabar untuk mencoba kamera analognya yang baru diisikan gulungan film. Setelah diberitahu tentang cara menggunakan kamera tersebut oleh penjual gulungan film, ia langsung mempraktikkannya di rumah dan menjadikan Ibu sebagai objek pertama yang ia abadikan di dalam gulungan tersebut. Gambar itu akan terus terabadikan dan tidak akan pernah bisa dihapus sebelum gulungannya dicuci terlebih dahulu, lalu dibakar.

Bahadur UlungWhere stories live. Discover now