Rahasia Tobong

146 19 2
                                    



Dari sudut kampung terdengar suara ketipung menekuk-nekuk, berlomba dengan suara seruling yang meliuk. Sesekali terdengar nama-nama disebut, beberapa kalimat dalam Bahasa Madura pun terlontar. Kemeriahan itu berasal dari rumah Kaji Kholil. Pedagang daging sapi di Pasar Wonokromo itu mendapat giliran mengadakan Otok-otok. Bulan lalu, Cak Da'i yang tinggal di Bratang Tangkis mengadakan acara serupa dengan sangat meriah. Tentu saja Kaji Kholil tidak mau kalah, ia harus bisa melebihi saudara jauhnya itu–membuat acara lebih merian. Ia ingin dilihat lebih berhasil dari Cak Da'i. Di tanah kelahirannya, pasti akan banyak mulut yang bercerita tentang keberhasilannya sebagai perantau saat mudik nanti. Otok-otok adalah sarana menambah gengsi bagi perantau dari Madura seperti dirinya.

Di sebuah panggung kecil, Sutinah, atau yang biasa dipanggil Ninah Gethuk bergeol mendendangkan dangdut koplo. Kakinya terlilit celana kulit sintetis, ketat mencetak pinggul, paha, dan betisnya. Beberapa laki-laki yang ada di bibir panggung mengangkat-angkat tangan, seolah hendak meraih balon udara birahi yang lepas. Mereka berusaha menepuk, mendulit, atau meraba bagian bawah tubuh Ninah Getuk, berusaha meletuskannya agar isinya tumpah. Namun, di mata perempuan-perempuan yang ikut menonton, Ninah Gethuk terlihat seperti babi menor yang tak tahu diri.

Ninah Gethuk tidak tidak ambil pusing terhadap isi pikiran penonton. Biarlah yang kotor tetap kotor, yang iri tetap iri, toh mereka tidak beranjak dari tempatnya, menyingkir karena goyangannya. Namun, seperti yang terlihat, mereka tetap memusatkan pandangan padanya; lelaki dan perempuan. Yang ia pedulikan hanya staminanya agar bisa terus bergoyang sepunel mungkin, seperti nama Gethuk yang disandangnya. Semakin punel dia bergoyang, semakin banyak saweran. Seperti penyanyi dangdut lain, mereka lebih suka saweran dari penonton, bukan bayaran yang tidak seberapa karena harus dibagi dengan anggota orkes lain. Saweran adalah mutlak hak penyanyi. Saweran itu diperlukannya untuk membeli celana baru yang lebih bagus, yang tidak robek jika ia sedang mengulek panggung; menjepit mikrofon di antara paha lalu mengentakkan pinggul; ke depan, ke belakang, ke samping, ke bawah, ke atas, sesuai tempo tabuhan. Ulekannya membuat penonton kegirangan, yang mata keranjang semakin dalam merogoh kantong celananya, yang alim diam-diam mencuri pandang.

Kaji Kholil ikut berjoget bersama beberapa lelaki, melambai-lambaikan uang lima puluh ribuan dengan bersemangat. Ninah Gethuk tahu, ia harus menyambar uang itu lalu menyebut nama Kaji Kholil keras-keras. Ninah Genthuk memang bukan orang Madura, tetapi ia sudah puluhan kali disewa untuk menghibur di acara Ototk-otok. Ia paham apa yang diinginkan sang tuan rumah.

"Mator sekelangkong, Kaji Kholil. Samoghâ'â usahana sampèyan sajân maju tor suksès, Pak Kaji!" serunya dalam bahasa Madura.

Kaji Kholil kembali berjoget, ia melencangkan lengannya seperti kapal terbang, persis seperti harga dirinya yang melesat ke angkasa. Berbotol-botol bir hilir mudik dari meja ke meja, Kaji Kholil sudah menyiapkan puluhan krat di belakang rumah. Lebih banyak dari yang disediakan Cak Da'i beberapa waktu lalu di rumahnya. Tak salah moyang bangsa Indonesia membuat peribahasa, ada gula ada semut. Di mana ada minuman keras, para korak mulai bermunculan. Pertama-tama melipir ke bibir panggung, lalu ikut berjoget. Tak lama kemudian, mereka sudah bergabung di meja para tamu. Jika ada satu saja ada tamu yang dikenal, entah kenal akrab atau sekadar pernah saling menyapa, maka korak-korak itu akan langsung sok akrab. Seolah-olah datang dari kampung yang sama, mereka langsung ikut dalam obrolan tamu tersebut. Bagi korak anyaran yang kurang beruntung, mereka hanya bisa mengandalkan minuman keras gratis dari sisa botol tamu yang tidak diminum, atau belum habis. Tanpa malu, mereka menyeruput bibir botol, menandaskan isinya.

Soleh ada di sana, duduk bersama Cak Da'i. Soleh mengenalnya sebagai bos, majikan yang membayarnya sebagai tenaga 'keamanan' salah satu toko emasnya di Wonokromo. Cak Da'i memang memiliki beberapa toko emas, yang paling besar ada di Blauran. Keduanya terlihat mengobrol, sesekali melemparkan senyum kepada tamu lain. Namun jelas, pikiran keduanya sedang tidak menikmati pesta. Cak Da'i merasa kalah pamor dengan Kaji Kholil. Otok-otok yang diadakannya tidak semeriah ini. Padahal, ia menanggap orkes yang sama, penyanyinya juga sama si Ninah Gethuk. Wajahnya suram, memikirkan balas dendam di acara Otok-otok selanjutnya. Soleh pun demikian. Ia masih memikirkan kegagalannya merobohkan tobong Maryam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bakiak MaryamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang