1. His Back

2.6K 203 7
                                    


Akhir Maret 1998

"Mbak, kita singgah bentar ya?" tanya Pak Pram, supirku.

Aku mendongak, "Mau ke mana?" tanyaku dengan nada bosan.

"Tuh ke situ, Mbak! Mau sholat Jumat sebentar," jawab Pak Pram lagi dengan sopan, sembari menunjuk ke arah kubah Mesjid Raya yang terlihat dari mobil yang sedang berjalan.

Aku sebenarnya sudah lelah. Sepanjang pagi hingga siang hari harus ke lokasi, ikut mengawasi proses pembetonan workshop yang proyeknya dipegang oleh perusahaan tempatku bekerja. Padahal semalam aku juga harus begadang menyelesaikan dokumen tender yang harus disetor pukul tiga sore ini. Tapi perusahaan lagi kekurangan orang, dan Boss bule-ku sedang membutuhkan banyak bantuan saat ini. Hans memang tak meminta bantuan padaku, satu-satunya staf senior perempuan di kantor. Hanya saja berbagai masalah yang timbul belakangan ini akibat kurangnya personil di lapangan membuatku akhirnya turun juga.

Kepalaku berdenyut-denyut sejak satu jam lalu. Meminta jatah untuk istirahat, sekedar memejamkan mata. Tapi sepanjang jalan Pak Pram terus berbicara, membahas beberapa masalah yang memang tak sempat kami bicarakan tadi saat di lapangan. Belum lagi perutku yang mulai terasa mulas. Kurasa penyakit maag-ku juga sudah mulai muncul. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku melewatkan sarapan pagi.

"Ya udah. Monggo, Pak!" kataku lesu.

Habis bagaimana? Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. Sholat memang harus disegerakan jika sudah waktunya. Apalagi ini sholat Jum'at. Biarpun aku bukan muslimah yang taat, sholat juga masih belang bentong, tapi aku tahu beberapa hal yang pernah diajarkan padaku bertahun-tahun lalu.

Mobil pick-up Daihatsu hitam itu pun meluncur masuk ke halaman mesjid. Tampak sudah banyak kendaraan roda dua dan roda empat berjajar rapi di sana. Rata-rata mobil-mobil itu bertuliskan kode perusahaan dan nomor mobil, bukan plat nomor, tapi nomor dari daftar kendaraan yang dimiliki perusahaan. Terletak di bagian samping, di pintu mobil. Beberapa karyawan dan staf perusahaan tampak mulai masuk ke mesjid satu demi satu.

"Saya tinggal dulu ya, Mbak," pamit Pak Pram sambil mengambil kopiah berwarna hitam dari dalam dasbor. Aku menjawab dengan anggukan saja dan bersandar di mobil.

Aku berniat tiduran sebentar sembari menunggu Pak Pram selesai. Tapi ya ampun, baru beberapa menit tanpa AC menyala, panas matahari sudah terasa membakar wajahku. Aku tak tahan dan memilih turun. Aku berlari-lari menuju teras mesjid yang mulai kosong karena khotbah Jumat sudah dimulai. Tak lupa aku mengambil earphone dan walkman dari dalam tas.

Sampai di teras mesjid, aku celingukan mencari pojokan yang enak untuk beristirahat sebentar, tapi bisa terlihat dari parkiran tempat mobil kami tadi. Kalau Pak Pram sudah selesai, ia akan mudah menemukanku. Tak butuh waktu lama, aku sudah duduk di salah satu sudut teras.

Khotbah Jumat masih terdengar meski telingaku sudah tersumbat earphone yang sedang meneriakkan lagunya Backstreet Boys. Mataku kupejamkan karena denyutan di kepala mulai terasa semakin menyakitkan. Satu dua jamaah mesjid masih berdatangan dan aku tahu, mereka melihatku. Desahan mereka saat masuk itu yang menjadi alasannya. Ada yang berucap 'astaghfirullah', ada yang tertawa kecil dan aku juga mendengar suara orang seperti hendak terjatuh.

Aku mengerti mengapa mereka terkejut melihatku. Aku seorang gadis muda, penggemar rok mini akut. Dimanapun, kapanpun, aku selalu mengenakan rok mini. Semuanya di atas paha. Sesuatu yang sebenarnya kurang disukai oleh orangtuaku, juga Boss bule-ku. Tapi aku tak peduli. Tak peduli kalau aku sedang berada di lingkungan pertambangan yang karyawannya hampir semuanya pria. Tak peduli kalau aku sedang bekerja sebagai sekretaris perusahaan konstruksi yang lebih banyak di lapangan dibandingkan di kantor. Selama aku suka, aku pakai, aku kerjakan. Itu motto-ku sejak bekerja di kota tambang ini.

Bye, Love (TAMAT - MANGATOON)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang