Prolog

22 1 1
                                    

Sudah jam 1 pagi dan masih tidak ada jawaban darimu. Seharusnya ini hal yang biasa. Mungkin saja kau sudah terlelap. Bukankah biasanya selalu begitu?

Hampir setiap kali kita saling bertukar pesan di malam hari, tahu-tahu saja kau sudah tertidur. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Tidak juga dengan permintaan maaf di pagi hari.

Awalnya aku merasa jengkel. Lama-lama aku terbiasa. Aku mencoba untuk hanya menunggu sepuluh menit sebelum akhirnya tidur.

Jika beruntung, setelah lewat sepuluh menit, kau membalas pesanku dan aku tidak membukanya. Kubiarkan saja notifikasinya muncul, tersenyum lalu tidur dengan nyenyak.

Tapi sekarang tentu berbeda.

Apalagi setelah akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya ke beberapa temanku yang dokter dan mereka seolah memberi konfirmasi atas ketakutanku.

Hanya saja, bukankah kita memang selalu mendengar yang ingin kita dengar?

Kuputuskan untuk menelponmu. Tidak ada jawaban. Kucoba lagi sampai tiga kali, yang terakhir malah tersambung ke kotak suara.

"Tidur aja, Dys. Gak ada yang bisa kamu lakuin juga sekarang," ucap Kezia saat dia melihatku masih terjaga, memegang segelas air putih di tangan kiri sementara mata tetap terpaku ke ponsel di tangan kanan.

Apa benar tidak ada yang bisa kulakukan?

Mungkin aku bisa menghubungimu lewat nomor telpon rumah. Lalu kuingat lagi bahwa aku tak tahu nomornya. Begitu juga nomor telpon Mama-mu. Kalau pun tahu, apa berani aku mengganggunya tengah malam begini?

Tapi bukankah kau sedang sakit? Harusnya dia tahu, kan?

Ah, tapi kau bukanlah orang yang senang merepotkan orang lain. Lalu, mengapa kau malah memberitahuku?

Apa kau tidak tahu bagaimana hal ini sangat menyiksa buatku?

Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang