Prolog

16 1 0
                                    

"Aku akan pergi ke Paris dua minggu lagi"ujarku pada Vano, kemudian menjilat ice cream ditanganku yang mulai meleleh. Vano menoleh dan menunjukan wajah terkejut.

"Kenapa? Gak boleh ya?"tanyaku akhirnya, karena Vano tak kunjung bicara.

Vano mengerjap beberapa kali, kemudian tersenyum,"Apa? Gak kok, boleh."katanya masih dengan senyuman.

Aku menatapnya, mencari celah apakah ia berbohong atau tidak. Dan sepertinya ia memang jujur."Emang gapapa gitu aku ninggalin kamu disini?"

Ia tertawa, lalu meraih tangan kiriku yang menganggur diatas pahaku,"Aku gak apa-apa disini. Kamu kan sudah lama mau ngelanjutin sekolah di Paris. Kamu bilang itu impian kamu sejak masih smp, kan?"ia tersenyum,"Lalu apakah aku berhak menghalangi impian kamu? Aku rasa enggak, jadi gak apa-apa kamu pergi asalkan kita saling percaya"

Aku tersenyum. Vano memang pria yang baik dan sangat pengertian, aku sangat mencintainya,"Aku janji aku akan jaga kepercayaan kamu, Van"

"Aku juga akan menjaga kepercayaan kamu, Far"ujar Vano, lalu melingkarkan tangannya di bahu-ku.

Aku dan Vano mengobrol panjang lebar di taman ini. Aku selalu merasa nyaman saat bersamanya. Vano Febrian, pria itulah yang telah membuat hatiku bertekuk lutut. Merubah Fara Aliana yang jutek dan cuek menjadi Fara yang penuh simpati dan suka tersenyum. Vano Febrian, pria yang kalem dan pendiam yang sempat membuatku kesal berkali-kali ketika aku mos di SMA Prima Lentera. Vano Febrian, pria yang lembut yang sebelumnya kusebut 'kakak kelas menyebalkan'.

Kini aku sangat mencintainya. Aku dan Vano menjalin kasih sejak aku kelas 11 dan dia kelas 12.

Namun sekarang aku harus meninggalkannya dan mengejar impian-ku untuk melanjutkan sekolah di Paris. Memang sangat berat meninggalkan pria yang telah berhasil membuat hidupku menjadi lebih baik, lebih berwarna dan tak lagi menjadi Fara yang tak memiliki simpati. Tapi aku yakin, selama aku dan Vano saling percaya dan saling setia. Tak akan ada suatu apapun yang menghalangi. Aku yakin aku dan Vano bisa menjalani perpisahan jarak sementara yang akan segera kami jalani.

Vano melihat arloji yang melekat dipergelangan tangannya,"Sudah sore, sebaiknya aku cepat mengantar kamu pulang,"ujarnya,"Aku gak mau kamu sampai terlambat pulang dan akhirnya kena omelan dari orang tuamu,"tambahnya dengan senyuman. Lalu ia berdiri.

Aku mengikutinya berdiri,"Ya sudah, yuk"

Aku dan Vano berjalan menuju parkiran motor di ujung taman dan dari jauh kami sudah melihat skuter VESPA LX125 berwarna putih terparkir cantik di dekat bunga mawar merah.

"Sampai"kata Vano ketika kami sampai disebuah rumah berlantai dua berwarna minimalis di pinggir jalan Setiawan.

Aku turun dan berdiri disebelahnya,"Terima kasih,"ucapku seraya menyungginggkan senyum termanisku untuknya.

"Sama-sama"

Setelah mencium keningku dan memastikan aku sudah dibalik pagar rumah, Vano melambai dan menjalankan skuternya menuju rumahnya.

The CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang