21 April 2016, 08.00
“Salah apa aku?” Kupegang wajah ini, sambil memikirkan semua nasib sial yang menimpaku.
“Reza, yang sabar, ya," seru Prima, sambil mengusap punggungku dari belakang.
Prima adalah seorang tahanan yang berada seruangan denganku. Tubuhnya sedikit gemuk, dengan tingginya yang hampir sama denganku. Ia tidur hanya menggunakan celana jeans, atau bisa kubilang bertelanjang dada. Mungkin, dia sudah terbiasa dengan atmosfir di tempat ini.
Dan entah kenapa, sifatnya tiba-tiba berubah drastis, padahal tadi malam, dia tidak terlalu peduli akan kehadiranku.
Aku sedikit bergeser darinya. “I—ya Prim …,” balasku dengan gugup.
Prima tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang. “Aku sayang kamu.”
*Deg! Deg! Deg!
Apakah ini yang dinamakan cinta? Tentu saja tidak, bodoh.Tanpa pikir lagi kulepasan pelukannya, dan menjauh sebisa mungkin darinya.
“Tenang saja Reza …,” lanjutnya, “aku sudah melihat tubuhmu.”
“Apa yang kau bicarakan?”
Kutatap wajahnya lekat-lekat. Namun, balasan yang kuterima malah kedipan mata, dengan gerakkan bibirnya yang genit?Mengerikan! Di ruangan yang bau dan kotor ini aku menghabiskan malam bersamanya? Ini mengerikan!
Sedangkan wanita itu, Kiki, ia diletakkan di tempat yang terawat dan aman. Bukankah ini tidak adil? Hanya karena ayahnya, Pa Mursydi, menjabat sebagai Kepala Polresta, dengan mudahnya dia mendapatkan semua itu.
Bahkan juga, semua tuduhan dilayangkan kepadaku, tanpa memberikanku waktu untuk berbicara, hanya karena salah satu polisi yang datang ke rumahku adalah kekasih wanita itu, Ihsan.
*Klik Kret …
Baru saja kupikirkan, Ihsan sudah berada di depanku, menatapku dengan kesal, ...
*Brugh!
Kupegang perutku sambil menahan rasa sakit. “Apa salahku?” Lalu menatap Ihsan.
Ini pertama kalinya bagiku ditendang oleh seseorang. Menyakitkan!
Tatapanku langsung dibalas Ihsan. “Minta dihajar!?”
“Bisakah lebih sopan?” sela Prima, lalu mengusap perutku.
“Aku punya hak!” bentak Ihsan sambil menepuk dadanya. “Cepat berbalik!”
Bentakan itu cukup untuk menghancurkan nyaliku, dan seketika membungkam mulutku. Mungkin, Prima juga merasakan hal yang sama.
Lebih baik aku berbalik mengikutinya, dan kuyakin, dia sedang memasangkan borgol di kedua lenganku.
Aku ingin lari dari semua ini—penyiksaan, ancaman, maupun tuduhannya—tetapi semua itu mustahil. Sangat mustahil! Kehidupanku saja dengan ganas dilahap oleh kenyataan pahit yang aku sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Aku khawatir, kalau semua yang kualami ini menjadi masalah bagi orang lain. Terlebih, bagi mereka yang aku cintai. Linda, Fahri, Mama, pasti akan percaya denganku.
“Anda sudah gila!?” teriak Prima yang seketika menyadarkanku dari lamunan.
"Eh!?"
Astaga, sedari tadi Ihsan menyeret kakiku—bagai binatang melata—keluar ruangan.
“Iya, aku sudah gila!” bentak Ihsan, lalu menendang dadaku. Dia mengangkat tubuhku dan mendorongku. “Cepat jalan!” lanjutnya.
“I—Iya.”

KAMU SEDANG MEMBACA
My Game!
Mystery / ThrillerHidup dalam kegelapan, diselimuti oleh yang namanya rasa sepi, juga berbekal penglihatan. Dia mencari sebuah jawaban akan pertanyaannya sendiri. Hei, bisakah kau menjelaskan semua tentang permainanku?