4. Jisei milik Isao

233 11 11
                                    



Seseorang yang mendekati kematian, akan punya energi berlipat kali lebih banyak dari mereka yang hidup. Para pasien paliatif membenci tidur, walau tidur merupakan salah satu bagian dari penyembuhan. Bagi pasien-pasien sekarat, waktu tidur adalah saat yang paling dijauhi. Mereka membenci malam. Mereka membenci bulan dan hadirnya bintang. Mereka benci mengapa harus tidur, padahal waktu hidup hanya tersisa sedemikian singkat. Malam mencuri usia. Tidur memangkas kesempatan hidup lebih lama.

Orang-orang sehat menghabiskan waktu dengan tidur, bahkan rela merayakan hari libur dengan berbaring seharian di ranjang sembari mendengarkan musik atau menonton film. Orang-orang sakit bahkan ingin waktu tidur mereka ditukar dengan badan yang sehat dan kemampuan untuk menjalani hari-hari sepenuh vitalitas.

Sofia ingat, mama mudah lelah.

Bila keletihan melampaui batas, beliau tiba-tiba jatuh pingsan di kantor. Atau duduk di sofa, menyandarkan kepala, sementara kesadarannya menguap hilang. Awalnya, nenek menduga mama hanya anemia berat. Seiiring tubuhnya yang semakin menyusut, fungsi tubuh yang merosot jauh; anggota serumah menyadari mama mengidap penyakit yang tak biasa. Anehnya, walau mama sering merasakan keletihan yang tidak sama dengan orang pada umumnya; beliau bekerja keras dua kali lipat. Mencari uang tambahan. Menata rumah dan taman. Mama suka sekali mencoba berbagai menu masakan, terutama makanan yang dipesan Sofia.

Pernah, Sofia ingin blackforest bukan dengan tepung instan yang dijual per kotak di super market. Mama benar-benar memasak blackforest sendiri, termasuk menghiasi dengan pahatan-pahatan coklat yang harus dibentuk secara spesial : mencairkan cokat, menuangkannya di atas lembar plastic khusus, menggulungnya dan menyimpan di lemari pendingin. Saat mengeras, coklat-coklat itu akan berbentuk batangan tipis seperti kulit kambium yang mengering. Sesudah memasak blackforest, mama akan jatuh lunglai dan tidur sejak maghrib hingga lewat tengah malam.

Sofia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan bersahabat dengan kematian secepat itu.

Nenek masih sehat, tante Nanda juga, mama pun terlihat tangguh. Ia pernah berpikir akan mengajak mama jalan-jalan keliling dunia dengan penghasilannya sendiri suatu saat nanti. Sofia akan merawat mama seperti mama merawat nenek. Satu-satunya perbedaan antara Sofia dan mama adalah, Sofia anak tunggal sementara mama punya adik. Dulu pun, Sofia menyangka hanya tante Nanda satu-satunya adik mama.

Kematian sungguh membingungkan.

Mengapa ia tak menjemput kakek di ujung gang yang jalannya sudah terbungkuk, mengenakan tongkat ketika sholat, bahkan jantungnya telah bolak balik dioperasi? Mengapa kematian tak menjemput anak berandalan di warung kopi depan pasar, yang tubuhnya penuh tatto, sering mengebut di jalan tanpa menggunakan helm? Mengapa kematian tak menyapa selebritis sosialita di televisi yang waktunya habis untuk dugem dan menjalani kehidupan tak sehat? Atau, mengapa kematian tak lebih dulu menyentuh nenek yang usainya duakali lipat dari mama, menyapa tante Nanda yang workacholic?

Mengapa malaikat Izrail memilih mendatangi mama, ketika Sofia tak punya siapa-siapa dan sangat membutuhkan sandaran?

Hari paling gulita adalah ketika mama mengajaknya jalan-jalan suatu sore, makan di restoran dan menonton film horror kesukaan Sofia. Dalam perjalanan pulang yang bahagia, Sofia tertidur di mobil dan tak utuh kesadaran ketika dituntun mama masuk ke kamar. Malam itu, mama terpaksa harus menceritakan kejadian sesungguhnya kepada Sofia, ketika ia terbangun malam hari dan mendapati mama sujud bersimbah airmata di atas sajadah.

Wajah mama demikian cantik dan teduh dalam balutan mukena.

Sofia iri pada hidung mancungnya, pada kulit bersihnya, pada cara mama berbicara yang anggun dan persuasif. Tidak seperti hidungnya yang bulat, pipi jerawatan, cara bicara yang meledak-ledak tak beraturan. Sofia belum sholat Isya, dan mama menungguinya hingga usai sholat.

Polaris FukuokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang